Ilustrasi Syiqaq sumber gambar: Bali-tribunnews |
Syiqaq
dalam Keluarga (Surah al-Nisā’ [4]: 35)
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا
حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا
يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
“Jika kamu (para wali) khawatir
terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika
keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik
kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Terjemah Kata
Kata |
Arti |
Kata |
Arti |
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا اِنْ يُّرِيْدَآ |
Dan
jika Kalian
Khawatir Perpecahan
Di
antara keduanya Maka
utuslah Juru
damai Dari Keluarganya
(laki2) Dan
Juru Damai Dari Keluarganya
(Pr) Jika
keduanya menghendaki |
اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا |
Perdamaian Memberi
taufiq Allah Di
antara keduanya Sesungguhnya
Allah Ada Maha
Mengetahui Maha
Mengerti |
Penjelasan
Jika pada ayat
sebelumnya (al-Nisā’ [4]: 34) mengetengahkan kedurhakaan isteri (nusyūz), maka
pada ayat ini, perselisihan terjadi dari keduabelah pihak. Suami istri
berselisih sehingga keharmonisan sebuah keluarga yang diidam-idamkan tidak
dapat terwujud. Perselisihan antara suami dan isteri ini dibahas dalam fikih
dengan istilah Syiqāq.
Syiqāq secara
bahasa berarti pertengkaran. Ia dikaitkan dengan pertengkaran yang terjadi
antara suami dan isteri. Bukan pertengkaran dalam makna umum. Pertengkaran ini
pun bukan pertengkaran biasa, melainkan pertengkaran yang sudah memuncak,
sehingga keduanya tidak bisa bersepakat, tidak dapat mengatasinya, dan tidak
dapat dipertemukan.
Ketika syiqāq
terjadi, maka apa yang harus dilakukan? Ayat tersebut memberikan solusi dengan
mengutus ḥakam
(juru damai). Ḥakam
diutus dari keduabelah pihak, dari pihak isteri dan dari pihak suami. Tentu saja
ḥakam merupakan
orang yang disegani, sehingga suami dan/atau isteri mau mendengarkan nasihat
darinya. Ḥakam
dengan demikian bukan sekadar orang yang diutus saja, melainkan orang yang
berwibawa dan disegani. Sebab jika hanya sekadar orang yang diutus, namun tidak
disegani, maka nasihat yang diberikan tidak akan didengar oleh keduanya.
Seorang ḥakam memerankan peran yang penting dalam
keberlangsungan rumah tangga. Pada awalnya, menurut mayoritas ulama fikih, ḥakam
bertugas untuk mendamaikan dan/atau memisahkan keduanya. Mendamaikan maknanya
adalah menyatukan kembali keduanya setelah memberikan nasihat. Sedangkan memisahkan,
maksudnya yaitu menceraikan keduanya.
Atas tugas yang berat ini, maka
seorang ḥakam (baik dari pihak suami maupun pihak isteri) harus bersungguh-sungguh
di dalam melakukan tugasnya. Ia terlebih dahulu meneliti, menyelidiki, dan
mendamaikan. Tugas awal seorang ḥakam -sebagaimana artinya yaitu juru
damai- yaitu mendamaikan suami isteri yang berselisih tersebut. Karenanya, ia
harus mempunyai sifat jujur dan amanah, sehingga solusi yang diberikan pada
akhirnya tetap mengacu pada kebaikan suami dan isteri.
Sementara itu, menurut Ibn Qudamah
sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifudin, langkah-langkah dalam menyelesaikan
kasus syiqāq adalah sebagai berikut.
1.
Mempelajari dan meneliti
sebab terjadinya syiqāq.
a. Bila ditemui penyebabnya
adalah karena isteri nusyūz, maka ditempuh jalan penyelesaian
sebagaimana pada kasus nusyūz.
b. Bila ternyata sebab syiqāq
berasal dari suami, maka dicari
seorang yang disegani oleh suami untuk menasehatinya untuk menghentikan sikapnya
dan menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan terhadap istrinya.
c. Bila sebab syiqāq
timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh pihak lain sebagai perusak dan
tidak ada yang mau mengalah, maka dicari seorang yang berwibawa untuk menasehati
keduanya
2. Bila langkah-angkah
tersebut tidak mendatangkan hasil dan ternyata pertengkaran kedua belah pihak
semakin menjadi, maka ditunjuk seseorang ḥakam
dari pihak suami dan seorang dari pihak istri dengan tegas menyelesaikan syiqāq
tersebut. Kepada keduanya diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga
yang hampir pecah itu atau kalau tidak mungkin menceraikan keduanya tergantung
kepada pendapat keduanya mana yang paling baik dan mungkin diikuti
3. Apabila kedua juru damai
tersebut telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mendamaikan suami istri,
lalu mereka mendapati jalan buntu, maka ḥakam
betindak sebagai qāḍī
(hakim), bukan wakil. Keduanya dibolehkan memisahkan suami istri tersebut, baik
suami istri itu rela ataupun tidak.
Saat ini
UU No. 50 Tahun2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal
76 Ayat 1 menyebutkan bahwa syiqāq adalah perselisihan yang tajam dan
terus menerus antara suami dan istri. Rumusan yang sama didapati di dalam Pasal
39 Ayat 2 UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU N0. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan KHI Pasal 116 huruf (f) bahwa “antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Dipisahkannya
kata perselisihan dan pertengkaran dalam alasan perceraian
tersebut tentu mempunyai maksud yang berbeda. Perselisihan adalah persengketaan
yang harus diputuskan lebih dahulu sebelum perkara pokok dapat diadili dan
diputus. Sedangkan pertengkaran adalah percekcokan, perdebatan.
Kategori perselisihan
dan pertengkaran sebagai berikut:
1. Suami istri yang tidak
pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus akan tetapi mereka
tidak pernah berkumpul sebagai suami istri;
2. Tidak ada harapan untuk
hidup rukun dalam rumah tangga;
3. Perselisihan dan
pertengkaran yang orang lain tidak tahu.
Alasan perceraian
pada Pasal 116 huruf (f) tersebut dan syiqāq ini bisa dikatakan mirip dan
perbedaannya sangat tipis karena terdapat unsur “perselisihan yang
terus-menerus antara suami isteri”. Perbedaannya terdapat pada “apakah
masih ada harapan dapat rukun atau tidak”. Dalam syiqāq masih ada
harapan untuk dirukunkan kembali, sedang dalam ketentuan alasan perceraian tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu, yang
paling penting dalam syiqāq ini ada unsur bahaya (ḍarar) karena perselisihan/percekcokan
yang sangat tajam bahkan sampai ada pemukulan dan tindakan keras lainnya, hal
ini bisa dikatakan bahwa perselisihan yang terus menerus belum tentu syiqāq.
Namun jika syiqāq sudah dipastikan ada unsur perselisihan yang terus
menerus.
Siapa yang mengangkat ḥakam?
Di awal saya
sebutkan bahwa ḥakam
adalah juru damai dari keduabelah pihak. Namun apakah ia harus dari pihak
keluarga atau boleh dari luar keluarga? Dalam hal ini, Pasal 76 Ayat 2 UU No. 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyebutkan “Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari
keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi Ḥakam”.
Klausul dalam Pasal
tersebut memberikan pengertian bahwa pihak ketiga boleh saja berasal dari
luar keluarga kedua belah pihak bilamana dianggap lebih maslahat dan
membawa kerukunan rumah tangga. Hubungan kekerabatan tidak merupakan syarat sah
untuk menjadi Ḥakam dalam penyelesaian sengketa syiqaq. Tujuan
pengutusan pihak ketiga untuk mencapai jalan keluar dari kemelut rumah tangga
yang dihadapi oleh suami isteri dan hal ini dapat saja tercapai sekalipun Ḥakamnya
bukan dari keluarga kedua belah pihak.
Ketentuan dalam
penjelasan Pasal 76 ayat (2) itu tidaklah menjadi persoalan asalkan dalam
batas-batas pengertian bahwa rumusannya sengaja diperluas oleh pembuat
undang-undang dengan tujuan agar rumusan dalam Surat al-Nisā’ Ayat 35 dapat
dikembangkan untuk menampung berbagai problem dalam kehidupan masyarakat sesuai
maqāṭid
al-syarī’ah dan semangat yang terkandung dalam ayat tersebut.
Syarat untuk
menjadi ḥakam adalah
sebagai berikut:
1. Ḥakam tersebut harus laki-laki dan
pengangkatannya tidak memerlukan persetujuan dari pihak suami istri;
2. Ḥakam bebas untuk
bertindak dalam rangka mengadakan upaya perdamaian dan apabila berhasil
berwenang untuk menceraikan (tafrīq) suami istri yang berselisih itu;
3. Ḥakam yang ditunjuk
harus seorang ahli hukum Islam (faqīh) karena ia sebagai hakim harus
mempunyai pengetahuan di bidang hukum.
Dengan demikian,
dapat dipahami, bahwa ḥakam
sebagai juru damai diangkat oleh hakim. Ia diangkat dalam rangka mendamaikan
keduabelah pihak. Namun demikian, bisa saja seorang ḥakam yang diangkat tersebut diusulkan oleh
para pihak.
Urgensi ḥakam
Tujuan adanya
peraturan mengenai perkawinan salah satunya adalah untuk meminimalisir
perceraian. Maka keberadaan ḥakam
menjadi sangat penting. Ia bertugas dengan maksimal untuk mendamaikan keduabelah
pihak sebelum akhirnya diputus oleh pengadilan. Maka pertimbangan ḥakam ini menjadi
petimbangan utama seorang hakim. Sebab atas usulan ḥakam, hakim dapat menjatuhkan vonis cerai
atau tidak.
Lebih dari itu, hakim hanya dapat mengetahui permaslahan yang terjadi melalui proses persidangan. Sementara setiap kejadian di luar persidangan, hakim tidak mengetahuinya. Ia hanya diketahui melalui laporan dari ḥakam. Sehingga dapat dipahami, bahwa ia berperan penting sesuai dengan tujuan adanya peraturan tersebut.
0 Comments
Posting Komentar