Ilustrasi Akad Nikah Sumber gambar Galadiva |
Keberadaan wali merupakan
penentuan keabsahan perkawinan. Setidaknya inilah pendapat jumhur ulama fikih. Tentu
tidak asal orang bisa menjadi wali. Ada syarat dan ketentuan yang musti
dipenuhi.
Selain itu, saya mengutip penjelasan Imam Abū Syuja’ di
dalam kitab Matn al-Ghāyah wa Taqrīb, mengenai urutan siapa saja yang
berhak menjadi wali sebagai berikut.
وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم
الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم
ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم
“Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.”
Keterangan tersebut memberikan pemahaman bahwa yang berhak menjadi wali adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai perempuan. Urutannya sebagai berikut.
- Ayah
- Kakek. Kakek yang dimaksud dalam hal ini ialah kakek dari pihak ayah.
- Saudara lelaki kandung, yaitu saudara lelaki mempelai perempuan seayah dan ibu. Ia bisa merupakan kakak maupun adik.
- Saudara lelaki seayah, yaitu saudara lelaki mempelai perempuan seayah namun beda ibu.
- Paman (Saudara lelaki ayah). Baik yang lebih tua dari ayah, ataupun lebih muda. Tentu saja yang paling tua lebih diprioritaskan.
- Anak lelaki paman dari pihak ayah.
Hakim berhak menjadi wali ketika keenam pihak keluarga di
atas tidak ada.
Bagaimana dengan Ayah Tiri?
Permasalahan ini sering terjadi di masyarakat. Ada seorang
anak perempuan yang telah tinggal lama bersama dengan ayah tirinya. Bisa jadi
karena ibunya telah bercerai dengan ayah kandungnya, atau karena ayah
kandungnya telah meninggal. Karena merasa telah merawat sekian lama, ayah tiri kemudian
merasa berhak menjadi wali. Namun apakah benar begitu?
Ayah tiri, jika mengacu pada penjelasan sebelumnya, tidak
diperhitungkan menjadi wali. Artinya, ia tidak serta merta dapat menjadi wali
nikah bagi anak perempuan tirinya. Akan tetapi, syariat tetap memberikan solusi
sehingga ayah tiri dapat menjadi wali. Solusi yang diberikan yaitu dengan cara
mewakilkan. Perkawilan tersebut diberikan oleh wali yang termasuk ke dalam
skala prioritas di atas. Lebih dari itu, ayah tiri yang mendapatkan perwakilan
tersebut harus memenuhi syarat-syarat seorang wali.
Apa Saja Syaratnya?
Kembali merujuk pada penjelasan Abū Syujā’ mengenai
syarat-syarat wali sebagai berikut.
ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط:
الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة
“Wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil”
Wali -dalam hal ini juga berlaku bagi dua orang saksi-, harus memenuhi 6 syarat sebagai berikut.
- Islam. Seorang wali ataupun saksi nikah harus beragama Islam.
- Baligh. Makna inti wali ialah seseorang yang dipasrahi urusan orang lain -perempuan yang akan menikah-. Karenanya, tidak mungkin menyerahkan urusan tersebut pada anak yang masih kecil dan belum baligh. Sehingga, syariat mewajibkan wali dan dua orang saksi dalam perkawinan merupakan orang yang sudah baligh.
- Berakal.
- Lelaki, sehingga wali atau saksi adalah perempuan atau waria yang berkelamin ganda, maka dianggap tidak sah.
- Adil, yaitu sifat seorang muslim yang menjaga diri dan martabatnya. Kebalikan dari adil ialah fasiq.
Wali Nikah di dalam Alquran
Salah satu ayat yang menjelaskan tentang wali nikah adalah
Surah Al-Baqarah (2) Ayat 232.
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ
فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ
اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ ذٰلِكَ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ
مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ ذٰلِكُمْ اَزْكٰى لَكُمْ
وَاَطْهَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Apabila kamu (sudah) menceraikan istri(-mu) lalu telah sampai
(habis) masa idahnya, janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan
(calon) suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang patut. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hal itu lebih bersih bagi (jiwa)-mu dan
lebih suci (bagi kehormatanmu). Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui”
Makna Mufradat
فَبَلَغْنَ |
النِّسَاءَ |
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ |
lalu
mereka sampai |
istri-istri
(kamu) |
dan
apabila kamu menceraikan |
أَنْ يَّنْكِحْنَ |
فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ |
أَجَلَهُنَّ |
untuk
menikah (lagi) |
maka
jangan kamu halangi mereka |
(akhir)
idahnya |
بَيْنَهُمْ |
إِذَا تَرَاضَوْا |
أَزْوَاجَهُنَّ |
di
antara mereka |
apabila
telah terjalin kecocokan |
(dengan)
calon suaminya |
مَنْ كَانَ |
يُوْعَظُ بِهٖ |
ذٰلِكَ |
بِالْمَعْرُوْفِۗ |
kepada
orang-orang |
yang
dinasihatkan |
itulah |
dengan
cara yang baik |
وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ |
بِاللّٰهِ |
يُؤْمِنُ |
مِنْكُمْ |
dan
hari akhir |
kepada
Allah |
yang
beriman |
di
antara kamu |
وَأَطْهَرُۗ |
لَكُمْ |
أَزْكٰى |
ذٰلِكُمْ |
dan
lebih bersih |
bagimu |
lebih
suci |
hal
itu |
لَا تَعْلَمُوْنَ |
وَأَنْتُمْ |
يَعْلَمُ |
وَاللّٰهُ |
tidak
mengetahui |
(sedangkan)
kamu |
mengetahui |
dan
Allah |
Asbāb al-Nuzūl Surah Al-Baqarah: 232
أخبرنا أبو سعد بن أبي بكر الغازي قال:
أخبرنا أبو أحمد محمد بن محمد بن إسحاق الحافظ قال: أخبرني أحمد بن محمد بن الحسين
قال: حدثنا أحمد بن جعفر بن عبد الله قال: حدثنا أبى قال: حدثنا إبراهيم بن طهمان
عن يونس بن عبيد عن الحسن أنه قال في قول الله عز وجل - فلا تعضلوهن أن ينكحن
أزواجهن إذا تراضوا - الآية، قال حدثني معقل بن يسار أنها نزلت فيه قال: كنت زوجت
أختا لي من رجل فطلقها، حتى إذا انقضت عدتها جاء يخطبها، فقلت له: زوجتك وأفرشتك
وأكرمتك فطلقتها ثم جئت تخطبها؟ لا والله لا تعود إليها أبدا، قال: وكان رجلا لا
بأس به وكانت المرأة تريد أن ترجع إليه، فأنزل الله عز وجل هذه الآية فقلت: الآن
أفعل يا رسول الله، فزوجتها إياه.
Ayat tersebut turun berkenaan dengan keengganan Ma’qil bin
Yasār untuk mengawinkan (kembali) saudari perempuannya dengan mantan suaminya
yang pernah mentalaknya. Bahkan ia sampai bersumpah untuk tidak menerima
lamaran mantan suami saudarinya itu. Kemudian ayat ini turun menjawab persoalan
tersebut. Para wali tidak boleh mempersulit atau menghalangi perkawinan perempuan
yang ada di bawah perwaliannya ketika sudah rela.
Penjelasan Ayat
Imam al-Qurṭubī dalam al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
menjelaskan bahwa suatu ketika saudari Ma’qil bin Yasār diperisteri oleh Abī
al-Baddāḥ namun kemudian dia ceraikan (talak raj’ī) sampai masa iddahnya
selesai. Setelah itu, Abī al-Baddāḥ menyesal dan meminta rujuk. Mantan istrinya
pun setuju untuk kembali. Namun Ma’qil, sebagai wali mantan isteri, tidak setuju.
Lalu Nabi saw. berkata “jika kamu beriman, maka jangan halangi saudarimu
untuk kembali kepada Abī al-Baddāḥ”. Ma’qil kemudian menjawab “saya
beriman kepada Allah dan akan saya kawinkan dia dengannya”
Ayat tersebut, lanjut al-Qurṭubī- merupakan dalil bahwa
perkawinan hanya sah ketika ada wali. Perlu diketahui bahwa saudari Ma’qil
dalam kasus ini berstatus sebagai janda. Jika ia dapat mengawinkan dirinya
sendiri tanpa perlu wali, maka tentu tidak butuh peran Ma’qil. Sementara itu
lafadz فَلَا
تَعْضُلُوْهُنَّ ditujukan
kepada para wali yang kepada mereka urusan perkawinan diserahkan.
Jika wali ternyata ‘adhal (enggan mengawinkan), maka hakim
dapat menjadi walinya. Keengganan tersebut disyaratkan dengan alasan yang tidak
sesuai dengan syariat. Alasan keengganan wali tersebut perlu dibuktikan oleh hakim
atau pertugas KUA. Hakim yang menjadi wali, merujuk pada penjelasan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 1 (b) adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau
pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak
sebagai wali nikah.
Selain itu, dapat dipahami pula, bahwa seorang wali dapat menolak perkawinan seorang perempuan yang berada di bawah perwaliannya, manakala laki-laki yang menjadi pilihannya tidak sekufu. Oleh karenanya, baik perempuan maupun laki-laki, sangat disarankan untuk mencari pasangan hidup dengan sebaik-baiknya. Karena ia akan menjadi pendamping seumur hidup, bahkan kembali bersatu nanti di akhirat. Menikah tentu merupakan ibadah. Maka mencari calon sampai berlangsung akad, niat untuk ibadah harus tertanam di dalam hati.
Demikian semoga bermanfaat.
0 Comments
Posting Komentar