Mahasiswa merupakan agen perubahan. Mereka menjadi generasi
penting dalam melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini. Mereka menjadi ruh
masa depan negara. Keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, berada di
Pundak mereka. Maka menyiapkan diri menjadi mahasiswa yang berilmu, beradab,
dan berwawasan luas, menjadi kunci utama. Ketiganya, terangkum dalam ilmu dan
amal yang seimbang. Ilmu menjadi landasan beramal, dan beramal merupakan pengejawantahan
dari keberadaan ilmu.
Melalui webinar kali ini, saya akan berbagi informasi bagaimana menjadi
remaja dan mahasiswa yang wasaṭiī (Moderat). Kegiatan ini dilaksanakan oleh KKN UIN Walisongo Semarang. Salah satu misinya adalah menebarkan
Moderasi Beragama, dimulai bahkan sejak dalam alam pikiran hingga berwujud
kegiatan nyata.
Mahasiswa, mengacu pada Teori Generasi, dapat digolongkan ke
dalam Generasi Y (millennial) dan Gen-Z (I-gen). Keduanya mempunyai tantangan dan
karakter masing-masing. Namun kemudian disatukan dalam hidup di era digital
saat ini. Era dimana segala informasi bebas terbuka. Segala hal dapat diakses
secara mudah. Kita mau cari apapun, ḥattā cari menyan, ada di
genggaman kita.
Saat ini kita hidup di era percepatan dalam segala hal
sebagai akibat percepatan industry dan digital. Hidup kita saat ini tidak dapat
dilepaskan dari internet (internet of thing). Ekonomi, pendidikan, gaya
hidup, semua ada dalam dunia internet saat ini. Kejadian semenit yang lalu di Eropa,
dapat segera kita tahu tanpa perlu pergi kesana. Itulah yang kemudian kita namakan
dengan Disrupsi.
Disrupsi ini kemudian berpengaruh pada segala aspek
kehidupan. Dalam bidang teknologi, Ekonomi, Pendidikan, bahkan Agama. Dalam bidang
Pendidikan misalnya, jika dulu proses KMB dilaksanakan dalam ruang dan gedung tertentu,
mensyaratkan tatap muka secara langsung dan bertemu fisik, saat ini telah
banyak hadir media online sebagai sarana untuk melaksanakan KMB. Dalam bidang Ekonomi,
jika dulu untuk membeli kebutuhan hidup (sandang, pangan) kita perlu keluar
rumah, ke pasar, ke toko, maka sekarang cukup di rumah saja. Bahkan, jika dulu
agama itu dipelajari melalui pertemuan langsung dengan guru, ustadz, dan kiai,
sekarang, siapapun boleh dan bebas ngomong tentang agama.
Apa Problemnya?
Di satu sisi, membantu kehidupan, di sisi yang lain, tentu
akan banyak hal negative yang ditimbulkan.
Kita semua mempunyai tantangan yang sama. Kita berada dalam
dunia “yang berilmu” akan kalah dengan “yang populer”. Mereka yang ‘alim akan
kalah dengan yang viral dan banyak followers. Otoritas keilmuan beralih posisi.
Sebab, siapapun berhak ngomong apapun. Pola keberagamaan kalah dengan
trend. Beragama bisa jadi semakin jauh dari esensinya, jika tampilan kebih
dipercaya sebagai cerminan.
Pemuda, dalam tulisan Setowara, menjadi paling rentan terkena imbas disrupsi agama ini. Setidaknya, ada tiga alasan utama. Pertama, berada dalam usia dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Dengannya, mereka cenderung akan mencari tahu dari segala sumber, bahkan yang tidak otoritatif sekalipun. Lebih dari itu, rasa ingin tahu yang menggebu-gebu itu, sayangnya, tidak dilandasi oleh bekal agama yang kuat. Bisa jadi, dengannya pula, mereka akan mengikuti trend pola keagamaan yang ada.
Kedua, mereka dalam posisi diri yang sedang mencari
kesejatian. Dalam posisi ini, mereka hidup dalam kondisi kebimbangan dan bahkan
orientasi di masa depan belum ada dalam benak. Ditambah, pokoknya hidup itu
harus penuh tantangan, menjadi pola hidup sehingga adrenalin meluap. Lebih dari
itu, bahkan secara sosial, mereka merasa terpinggirkan. Hal ini menjadi ciri
khas, sebagaimana diungkap di awal.
Ketiga, mereka adalah pengguna aktif internet
(digital native). Gadget dan medsos adalah gaya hidup. Cenderung kurang
tertarik dengan kajian teoritis dan lebih menyukai yang instan. Ilmu agama
termasuk di dalamnya. Mudah dipahami dan cenderung lebih cepat membawa kepada “surga”
tentu menjadi sasaran.
Dengan ketiga hal tersebut, tentu sangat mudah bagi para
ekstrimis untuk masuk ke dalam diri mereka. Apalagi informasi dari BNPT, pada
masa ini, kegiatan ekstrim itu lebih gencar disuarakan di media sosial.
Lalu apa yang dibutuhkan?
Solusi untuk mempersiapkan diri agar tidak terseret arus negative
era ini, setidaknya ada empat macam.
Pertama; mempunyai pemikiran dan sikap yang kritis
(critical thinking). Tidak mudah percaya dan lebih banyak mengakses informasi
sehingga menjadi lebih obyektif dalam menentukan langkah. Saring sebelum share,
meminjam bahasa Gus Nadir. Kita sama-sama mempunyai kewajiban menahan diri
dari latah jempol, menahan diri dari copy – paste – share.
Kedua, munculkan pola komunikasi yang baik dengan
siapapun, dari golongan manapun. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada
klaim benar sendiri (truth claim). Membuka obrolan dengan macam-macam orang
akan membuka wawasan dan pengetahuan kita.
Ketiga, melakukan kerjasama dengan orang-orang yang
telah sukses di bidangnya. Maka, berkumpul dengan orang pintar, orang kaya, dan
orang sukses, dapat membawa kita pada pola pikir yang maju ketimbang mengurung
diri dan berkumpul dalam komunitas yang tidak produktif.
Keempat, menumbuhkan sikap kreatif sebagai wujud
nyata kehadiran kita di dunia ini. Kreatifitas ini akan muncul ketika kita
bergaul dengan orang-orang yang produktif dan mengonsumsi obrolan yang
produktif pula.
Maka, dengannya kita akan menjadi pribadi yang Moderat. Tidak
condong pada 2 kutub ekstrim, kanan maupun kiri. Kita berada di tengah-tengah
mereka. Posisi di tengah ini merupakan sikap nyata. Adil dalam membaca dan
mendengar. Bahkan saat ini, saling berkomunikasi dan mendengar menjadi cara
yang ampuh untuk menumbuhkan kasih sayang.
Langkah selanjutnya apa?
Kita ubah cara pandang kita. Wawasan kita buka seluas
mungkin. Kita lihat bagaimana agama dipraktikkan dalam sisi dunia yang berbeda.
Lalu kita amalkan dalam konteks dimana kita hidup saat ini. Atas narasi yang
menyudutkan Islam misalnya, kita tidak sekadar mengutuk, namun mampu untuk
melakukan counter. Dengan apa? Tentu dengan narasi positif.
Mari sebarkan perdamaian dan kasih sayang, sehingga kita
bisa saling menyayangi. Mari sebarkan narasi positif, sehingga kebaikan dapat
bersemai dalam dunia yang indah ini. Mari kita bentuk diri kita menjadi pribadi
yang moderat, sehingga kehidupan menjadi lebih tenteram.
0 Comments
Posting Komentar