Main catur aja ati-ati banget, apalagi ngejalanin idup.
Kira-kira kalimat itu yang
masih terngiang di telinga saya sampai hari ini. Hati-hati dalam melangkah,
menentukan arah, mengambil keputusan, memilih satu di antara banyak hal,
ternyata sangat diperlukan. Hati-hati bukan berarti bimbang, namun justru penuh
keyakinan. Orang yang bisa berhati-hati berarti dia telah matang dalam banyak
hal. Ia bisa mempertimbangkan efek positif dan negative atas pilihannya.
Hati-hati atau dalam istilah lain
dikenal dengan itiyāṭī. Ia menjadi dasar bagi segala hal. Ia menjadi
prinsip yang melandasi semua perbuatan. Iḥtiyāṭī dalam bergaul, dalam
berkeyakinan, dalam berhukum, dalam perilaku; perkataan, dalam semua aspek
kehidupan.
Sejauh penelusuran saya, ketika
mencoba searching dengan keyword iḥtiyāṭī, maka mesin pencarian akan mengarah
pada ragam ilmu falak (astronomi Islam). Sementara ketika memakai kata “prinsip
hati-hati” maka kita akan diarahkan pada pembahasan mengenai; pertama, muamalah
(akad; transaksi) yang kemudian dikenal dengan prudential banking. Kedua,
mengacu pada bidang lingkungan hidup yang kemudian dikenal dengan prinsipprecautionary. Atau jika diarahkan pada fikih (hukum Islam), maka paling banter
mengacu pada fikih mazhab al-Shāfi'ī yang dikenal sangat berhati-hati dalam
menentukan hukum.
Namun sebagaimana pilihan judul
artikel ini, prinsip kehati-hatian (iḥtiyāṭī) diarahkan sebagai prinsip utama
dalam proses penetepan hukum (uṣūl al-fiqh).
Prinsip iḥtiyāṭī berlaku
pada semua ragam ilmu, termasuk ilmu ushul fiqh. Dengan prinsip tersebut, kita
akan terhindar dari sikap sembrono (ifrāṭī; berlebih-lebihan) dan sikap mendiamkan
kasus tanpa keputusan hukum karena tidak ada nash dan pendapat (qawl) terhadulu
yang mengaturnya (tafrīṭī). Sembrono muncul karena terlalu dominan dalam
menggunakan akal (ra’yu). Sedangkan diam muncul sebagai akibat dari dominasi
teks (wahyu).
Prinsip hati-hati sama dengan seseorang
dapat mendialogkan akal dan wahyu, ‘aqlī dan naqlī, teks dan
konteks. Hati-hati tidak sama dengan tidak berprinsip dan penuh kebimbangan,
namun justeru sebaliknya, ia merupakan prinsip mandiri. Dengannya, ia mampu bersikap
dan menentukan fokusnya. Oleh karenanya, prinsip ini menjadi asas yang wajib dimiliki
oleh seorang mujtahid dan mufti.
Jika seseorang tidak berhak
memberikan resep hanya karena telah membaca buku kedokteran, atau jika
seseorang tidak boleh membuka bengkel mobil hanya karena telah membaca pedoman
bagi seorang montir, maka tentu, tidak semua orang boleh memberikan keputusan
hukum hanya karena telah membaca quran dan hadis terjemah. Menjadi pemberi
keputusan hukum, baik berupa qaḍā’ (putusan pengadilan), qānūn
(undang-undang), fatwā (jawaban pertanyaan), atau ragam hukum yang lain,
membutuhkan serangkaian proses yang tidak mudah.
Pemberi keputusan hukum haruslah orang yang telah mapan ilmu, dapat mendialogkan kedua dominasi di atas, dan memahami betul proses ijtihad.
Setidaknya ada 2 teori yang membuktikan
hal ini. Dalam kajian ushul fiqh, kita kenal istilah maṣādir al-aḥkām
(sumber-sumber hukum). Sumber tersebut terbagi menjadi dua; muttafaq ‘alayh
(disepakati penggunaannya) dan mukhtalaf fīhā (diperselisihkan
penggunaannya). Di antara sumber hukum yang diperselisihkan yaitu istiṣḥāb
dan al-dharī’ah beserta kaidah-kaidah turunan keduanya.
Istiṣḥāb (الْاِسْتِصْحَاب)
Istiṣḥāb dimaknai sebagai memberlakukan status lama untuk diterapkan
pada masa sekarang dan yang akan datang, sampai ada bukti dan argument lain
yang mengubah status tersebut. Dengan konsep ini maka, keberadaan, kondisi, situasi,
dan status awal harus diterapkan terlebih dahulu.
Dengan demikian, melalui konsep istiṣḥāb,
kita wajib; Menyatakan dan mengatakan bahwa semua orang pada dasarnya baik,
bukan penjahat, bukan pelaku kriminal, bukan pezina, dan bukan pelaku pelecehan
seksual. Menuduh seseorang telah melakukan perbuatan buruk tanpa bukti yang
kuat, sama saja melakukan tuduhan palsu yang secara hukum apapun tidak
dibenarkan. Dalam hal ini maka asas Praduga Tak Bersalah menemukan
relevansinya.
Hal ini pun sesuai dengan kaidah
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى
وَ الْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ اَنْكَرَ bahwa wajib bagi
penuduh untuk mendatangkan bukti atas tuduhannya, sementara bagi tertuduh pada
dasarnya ia hanya cukup mengelak saja, tanpa perlu membuktikan bahwa ia
tersalah.
Begitu pula dalam kasus yang
lain, sifat hidup seseorang akan selamanya melekat pada dirinya, sampai ada
bukti bahwa ia telah meninggal. Maka dengan status tersebut, isteri atau suami,
harta, dan semua hak yang melekat pada dirinya, selamanya tidak boleh dipindahtangankan.
Atau dalam contoh lainnya, sebuah
akad, baik akad perkawinan, jual beli, dan sebagainya, akan tetap langgeng dan
lestari, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa akad tersebut telah selesai. Oleh
karenanya, status perkawinan selamanya akan tetap melekat pada sepasang suami-isteri.
Sehingga segala hak dan kewajiban pun melekat pada keduanya.
Melalui konsep istiṣḥāb, muncul
beberapa kaidah berikut.
الْاَصْلُ
بَرَأَةُ الذِّمَّة
Pada
dasarnya, setiap manusia terbebas dari tanggungan
Manusia secara
mendasar merupakan makhluk merdeka. Tidak ada kewajiban yang melekat padanya
sehingga tidak boleh menuntutnya untuk melakukan sesuatu. Pun pula tidak ada
larangan yang mencegahnya melakukan apapun, sehingga tidak terlarang untuk
melakukan sesuatu.
Anak kecil
misalnya, dia bebas berbuat dan berkata apapun. Tidak terkena dosa karena
melakukan perbuatan maksiat. Juga tidak mendapat pahala ketika melakukan
kebaikan. Orang dewasa pun pada dasarnya terbebas dari segala tuntutan
tersebut. Laki-laki dan perempuan, keduanya terbebas dari ikatan apapun, termasuk
ikatan perkawinan. Sehingga keduanya terlarang untuk berbuat sesuatu yang hanya
halal bagi suami isteri. Keadaan tersebut, anak kecil, orang dewasa, dan
laki-laki perempuan, tetap melekat kepada mereka sampai ada bukti yang
menyatakan sebaliknya.
الْاَصْلُ
فِى الْاَشْيَاء الْاِبَاحَة
Pada
dasarnya, dalam bidang muamalah, boleh dilakukan
Segala bentuk
kegiatan muamalah, seperti akad jual beli dan bentuk transaksi lainnya, pada
dasarnya boleh untuk dilakukan. Oleh karenanya, pada dasarnya, seseorang boleh
menjual jerapah, singa, elang, dan sebagainya. Hal itu berubah menjadi tidak
boleh ketika ada dalil dan ketentuan yang menyatakan bahwa transaksi tersebut dilarang,
hewan yang dilindungi misalnya.
الْاَصْلُ
فِى الْاَبْضَاع التَّحْرِيْم
Pada
dasarnya, farji (hubungan kelamin) adalah haram
Jimak
atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya haram
dilakukan. Oleh karenanya, keduanya, selamanya dilarang melakukannya. Keharaman
tersebut akan berubah statusnya ketika keduanya melakukan perkawinan yang sah.
الْاَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Pada
dasarnya, segala sesuatu ditetapkan sebagaimana awalnya
Suatu hukum
pada dasarnya ditetapkan dengan mengacu pada status yang melekat sebelumnya. Status
tersebut akan melekat selamanya, sampai ada keadaan yang mengubahnya. Kepemilikan
atas sesuatu akan tetap menjadi pemiliknya. Selamanya. Sampai ia terbukti
secara sah dan meyakinkan telah memindahkan kepemilikannya itu.
الْأَصْلُ فِى الْمَنَافِعِ الْحِلُّ وَفِى الْمَضَارِ التَّحْرِيْمُ
Pada dasarnya, semua hal yang bermanfaat boleh
dilakukan dan semua yang membahayakan terlarang dilakukan
Setiap kegiatan apapun yang
membawa kepada kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan, boleh dikerjakan. Tentu saja,
bahwa kebaikan tersebut merupakan kebaikan yang hakiki, yaitu tidak melanggar perintah
dan larangan syariat. Sebaliknya, dianggap sebagai perbuatan haram dan
terlarang manakala ia menyebabkan keburukan, mudarat, dan bahaya.
Melalui pemahaman terhadap
konsep Istiṣḥāb beserta kaidah-kaidah tersebut, memberi pemahaman kepada kita
bahwa; pertama, vonis buruk tidak boleh sembarangan dilabelkan kepada seseorang.
Kedua, tidak ada larangan dan perintah, tidak ada dosa dan pahala, serta tidak
ada kewajiban dan hukuman, sampai ada dalil yang menghendakinya. Ketiga,
prinsip meraih kebaikan dan menghindari keburukan menjadi hal utama dalam
syariat Islam. Dengan demikian, hal itu menjadi bukti pertama bahwa syariat Islam
di dasarkan atas prinsip kehati-hatian.
Al-Dharī’ah (الذَّرِيْعَة)
Sedangkan al-darī’ah
bermakna al-wasīlah (perantara), baik perantara yang membawa kepada
kebaikan sehingga harus dilakukan (fatḥ al-dharī’ah) maupun perantara
yang membawa kepada keburukan sehingga harus ditiadakan (sadd al-dharī’ah).
Dalam hal ini, sebuah kaidah menyebutkan
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
Bahwa hukum perantara, sama
dengan hukum tujuan
Sebuah tujuan yang baik sehingga
wajib ada, maka perantara yang mengarah pada keterwujudan tujuan tersebut juga
harus ada. Sebuah tujuan yang buruk sehingga harus dihindari, maka wasilah yang
membawa kepada realisasi tujuan tersebut pun tidak boleh dilakukan.
Dengan demikian melalui konsep al-dharī’ah
ini, kita wajib;
- Melakukan dan memperjuangkan segala sesuatu yang akan membawa atau berpotensi kuat membawa kepada kebaikan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
- Menghentikan segala bentuk perbuatan atau perkataan yang akan membawa atau berpotensi kuat membawa kepada keburukan, baik diri sendiri maupun orang lain.
Kaidah yang mendukung konsep al-dharī’ah
yaitu;
وَسَا ئِلُ الْحَرَامِ حَرَامٌ
Perantara
yang membawa kepada perbuatan haram hukumnya haram
Sebagaimana
pada kaidah sebelumnya, bahwa hukum perantara mengikuti hukum tujuan. Misalnya,
sebuah kegiatan dengan tujuan untuk melakukan pencurian, maka segala sarana
yang mendukung aksi pencurian adalah terlarang. Sebuah kegiatan dengan maksud
untuk melakukan kemaksiatan, maka sarana apapun yang mendukung tujuan tersebut
menjadi terlarang. Melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang
lain haram untuk dilakukan. Oleh karenanya, menggali tanah di depan rumah orang
lain atau di jalan yang dilalui orang, tentu berpotensi mencelakakan, maka
haram untuk dilakukan.
الْمَشْغُوْلُ لَا يُشْغَلُ
Obyek aktivitas
tertentu tidak boleh menjadi obyek aktifitas yang lain
Sebuah benda
yang sedang menjadi obyek suatu pekerjaan, maka dia tidak boleh menjadi obyek
bagi pekerjaan yang lain. Maka, pena yang dipinjam dari orang lain, tidak boleh
dipinjamkan lagi. Rumah yang sedang dikontrak tidak boleh dikontrakkan lagi. Barang
gadai tidak boleh digadaikan lagi. Ini merupakan bentuk perlindungan bagi
kebaikan pihak pertama atas kerusakan akibat kelalian pihak peminjam,
pengontrak, dan penggadai.
إِذَا اِجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ
الْحَرَامُ
Jika keharaman
dan kehalalan menjadi satu, maka keharaman lebih diprioritaskan
Misalnya,
di sebuah pasar daging, di sana terkumpul antara daging yang halal dengan
daging yang haram, maka seketika, seluruh daging yang ada di pasar tersebut berstatus
haram. Ketika tercampur pakaian yang najis dengan yang suci, maka semuanya
dihukumi najis. Termasuk ketika dalam sebuah restoran, di sana menyajikan makanan
yang halal dan makanan yang haram, sementara dapurnya 1, maka seluruh makanan
di sana menjadi haram.
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ
Suatu kewajiban yang tidak akan
sempurna tanpa sesuatu yang lain, maka keberadaannya menjadi wajib
Menjaga kesehatan diri dan orang
lain adalah wajib, salah satu caranya adalanya mematuhi protocol kesehatan, maka
mematuhinya menjadi wajib untuk dilakukan. Menjaga keselamatan diri dan orang
lain dalam berkendara adalah sebuah kewajiban, maka memakai helm, jaket,
mematuhi rambu, dan mempunyai SIM, sebagai sarana untuk menyempurnakan
keselamatan tersebut wajib untuk direalisasikan. Menjaga kehormatan diri
sendiri dan orang lain adalah wajib, maka keberadaan aturan sebagai penyempurna
penjagaan tersebut pun menjadi wajib ada.
Dengan demikian, melalui pola
pikir al-dharī’ah dan kaidah-kaidah di atas, semakin membuktikan bahwa
prinsip hati-hati mutlak dibutuhkan. Ia berfungsi untuk menyelamatkan diri
sendiri dan orang banyak, hati-hati dalam membuat keputusan, hati-hati dalam
bertindak, hati-hati dalam melakukan sesuatu, wajib dilakukan oleh siapapun.
Termasuk melestarikan keturunan,
merupakan kewajiban bagi setiap orang. Ia hanya bisa direalisasikan melalui
perkawinan yang sah. Maka, bagi yang sudah tercukup syaratnya, ia wajib
melakukan perkawinan. Tentu masuk dalam prosesi pra perkawinan. Seseorang dihadapkan
dalam menentukan pasangannya. Hati-hati dalam memilih pasangan pun menjadi
wajib dilakukan. Dengan hati-hati, ia akan terhindar dari asal-asalan dalam memilih
calonnya dan terhindar pula dari sikap diam dan tidak berusaha.
Lebih dari itu, prinsip tersebut
diarahkan untuk meraih sebesar-besarnya kebaikan dan menghilangkan sebanyak-banyaknya
keburukan. Sehingga tercipta keteraturan hidup dalam kehidupan.
Wallāhu a’lam
0 Comments
Posting Komentar