Mempelajari Fikih Hukumnya Fardlu ‘Ain
Fikih merupakan salah satu cabang ilmu yang wajib dipelajari
dan diketahui oleh orang muslim, khususnya mukallaf. Status wajib ini adalah
wajib ‘ain, bukan wajib kifayah. Wajib ‘ain adalah kewajiban yang melekat pada
setiap individu. Sedangkan wajib kifayah adalah kewajiban kolektif, jika salah
seorang saja dari suatu daerah telah melaksanakannya, maka bagi penduduk lainnya,
kewajiban ini menjadi gugur.
Syekh Al-Malibari menjelaskan ada 3 cabang ilmu yang masuk
ke dalam kategori wajib ‘ain.
Pertama, ilmu yang menjadikan ibadah menjadi
sah. Keabsahan suatu ibadah bergantung pada pengetahuan seorang muslim terkait syarat,
rukun, dan seluk beluknya. Pengetahuan itu akan di dapat ketika dia mempelajari
fikih. Contohnya, setiap muslim wajib mempelajari tata cara salat yang baik dan
benar. Begitu juga ia wajib mempelajari segala hal yang berhubungan dengan
salat, seperti tata cara bersuci dari hadas kecil maupun hadas besar dan
bersuci dari najis, baik najis kecil (mukhaffafah), najis sedang (mutawassiṭah),
maupun najis besar (mughallaẓah).
Hadas kecil disucikan melalui wuḍu jika tidak terhalang
menggunakan air. Atau dengan tayammum ketika ia tercegah menggunakannya, baik
karena sakit maupun karena ketiadaan air. Sementara hadas besar disucikan
melalui mandi, ketika ia bisa menggunakannya. Atau wuḍu dan/atau tayammum ketika
terhalang menggunakan air. Pengetahuan mengenai bagaimana berwuḍu, bertayammum,
dan mandi besar yang baik dan benar, adalah sebuah kewajiban yang melekat pada
setiap muslim.
Adapun najis kecil (mukhaffafah) dapat disucikan dengan
cipratan air. Sedangkan najis sedang (mutawassiṭah) dapat disucikan dengan
menghilangkan bentuk atau wujud najisnya, lalu mengguyurnya sampai bentuk,
warna, dan bau atau rasanya hilang. Sementara najis besar (mughallaẓah) dapat
disucikan dengan cara membasuhnya sebanyak 7 kali yang salah satunya
menggunakan debu (tanah) yang suci. Pengetahuan mengenai bagaimana menghilangkan
najis, baik kecil, sedang, maupun besar, merupakan kewajiban yang melekat pada
setiap mukallaf.
Begitu pula seorang muslim-mukallaf berkewajiban mempelajari
cabang ilmu fikih yang lain yaitu fikih muamalah. Fikih muamalah adalah pengetahuan
mengenai hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia dan antara manusia
dengan alam. Fikih muamalah ini menjelma ke dalam banyak cabang lainnya,
seperti hukum ekonomi, hukum keluarga, hukum pidana, hukum politik, hukum tata
negara, dan sebagainya.
Pengetahuan mengenai ilmu fikih dengan demikian mutlak
diperlukan. Hal ini sebab setiap amalan apapun yang tidak didasari atas
pengetahuan maka ia akan tertolak. Ibadah yang tidak berdasarkan ilmu, maka
ibadah tersebut tertolak, tidak diterima. Salat, zakat, puasa, haji, wudlu,
jual beli, dan sebagainya, harus dilakukan atas dasar pengetahuan yang jelas.
Kedua, ilmu yang menjadikan akidah menjadi benar.
Maka mempelajari ilmu ‘aqā’id merupakan kewajiban yang melekat pada setiap
mukallaf. Pengetahuan mengenai ilmu akidah ini diperlukan agar seorang mukallaf
tidak terjerumus pada perbuatan yang merusak keimanan. Pengetahuan mengenai
sifat wajib bagi Allah, Sifat mustahil bagi Allah, sifat jaiz bagi Allah, Sifat
wajib bagi Rasul, dan sifat mustahil bagi Rasul yang semuanya berjumlah 50,
wajib diketahui oleh setiap muslim yang sudah baligh dan berakal.
Misalnya, salah satu sifat wajib bagi Allah adalah berbeda
dengan makhluk. Maka kita sebagai muslim tidak boleh sama sekali menyamakan
Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Allah sama sekali berbeda dengan manusia dan
ciptaan Allah yang lainnya. Oleh karenanya, jangan sampai kita menyamakannya. Sebab
jika demikian, kita telah terjerumus pada pemahaman yang salah dan tentu
merusak akidah dan keimanan kita kepada Allah SWT.
Dengan demikian, mempelajari dan mengetahui ilmu akidah,
khususnya akidah ahl al-sunnah wa al-jamā’ah, wajib dan kewajiban itu melekat
pada kita.
Ketiga, ilmu yang membuat hati menjadi bersih.
Kebersihan hati wajib untuk dijaga dari segala hal yang mengotorinya. Perbuatan
manusia tidak hanya berkaitan dengan perilaku lahir atau yang tampak saja,
melainkan juga perbuatan hati. Bahkan niat untuk melakukan suatu ibadah merupakan
perbuatan hati. Berprasangka baik kepada Allah dan kepada manusia adalah
perbuatan hati.
Hati yang bersih akan membawa pada akhlak yang baik. Sebaliknya,
jika hati kotor, penuh dengan prasangka buruk, riya, dengki, iri, hasud, tamak,
dan segala penyakit hati lainnya, maka akhlak kita menjadi tercela. Ketika hari
kotor, maka nasihat baik tidak akan masuk ke dalam diri kita. Ketika hati kotor
maka Nur Allah tidak akan masuk ke dalam diri kita. Ketika hati kotor, maka
hidayah Allah akan sulit kita terima.
Oleh karenanya, mempelajari, mengatahui, dan mengamalkan
ilmu akhlak merupakan kewajiban yang melekat pada setiap manusia yang beriman, dewasa,
dan berakal.
Apa itu Fikih?
Fikih secara bahasa bermakna al-fahmu (الفهم), baik pengetahuan
standar maupun pengetahuan mendalam. Sedangkan secara istilah, fikih adalah:
الْعِلْمُ بِالْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ
الْمُكْتَسَب مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِلِيَّةِ
Artinya: fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syarak yang berhubungan dengan amal perbuatan (praktis; ‘amalī) yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
- Disebut ilmu (pengetahuan) karena fikih merupakan produk pemikiran manusia dengan menggunakan metode-metode tertentu.
- Disebut praktis (‘amalī)
karena fikih berisi pedoman bagi kaum muslimin dalam melakukan segala aktifitas
ibadah maupun mu’amalah.
- Fikih berhubungan dengan hukum-hukum syarak yang diambil dari proses istinbāṭ dan naẓar (analisis) dari sumber-sumber primernya berupa al-Qur’an dan hadits yang kedunya bersifat tafsili (terperinci)
Sedangkan melalui definisi yang lainnya, fikih dimaknai
dengan:
وَ الْفِقْهُ مَعْرِفَة اْلأَحْكَام الشَّرْعِيَّة
الَّتِي طَرِيْقُهَا الْاِجْتِهَاد
Artinya, “Fikih ialah pengetahuan tentang hukum-hukum
syariat yang dihasilkan melalui metode ijtihad”
Dalam definisi yang kedua ini, sesuatu dapat dikatagorikan
sebagai fikih manakala ada proses ijtihad. Sesuatu yang diperoleh tanpa melalui
proses ijtihad tidak dapat disebut dengan fikih. Pengetahuan tentang kewajiban salat
misalnya, tidak dapat disebut sebagai fikih. Sebab ia dapat diketahui secara
langsung ketika membaca Surah Al-Baqarah (2): 43. Sementara tata cara melakukan
salat, seseorang perlu melakukan kajian yang mendalam. Proses untuk mengetahui
proses dan tata cara salat ini lah yang disebut dengan fikih.
Penyusunan argumentasi melalui proses ijtihad hingga
mengeluarkan jawaban hukum sebuah persoalan, itulah yang dinamakan sebagai
fikih. Dari sini bisa kita pahami bahwa fikih bekerja pada persoalan-persoalan
yang sifatnya khilafiyah (persoalan yang dalam menjawabnya berpotensi terjadinya
perbedaan pendapat). Wajar bila terjadi perbedaan pendapat antara satu madzhab
dan lainnya, dan itu bukanlah masalah.
Bagaimana Derajat Kebenaran dalam Fikih?
Sebagaimana dijelaskan di awal, fikih merupakan produk
ijtihad; produk penalaran. Tidak bisa kita anggap bahwa hasil penalaran
tersebut 100% benar. Kita hanya boleh menganggapnya “menurut dugaan kuat,
hasilnya benar”. Lebih dari itu, ijtihad pun hanya boleh dilakukan pada nash
yang bersifat dugaan (ẓann) pula, baik dari sisi penunjukannya (dalālah) maupun
dari segi kedatangannya (wurūd). Suatu produk yang bahannya bersifat dugaan,
maka ia pun akan bersifat dugaan.
Sumber fikih adalah dalil-dalil yang bersifat particular (tafṣiliyah).
Sumber-sumber tersebut diproses dengan metode ijtihad masing-masing madzhab
hukum. Tidak saja sumbernya yang masih dugaan, metode yang digunakan pun bisa
jadi berbeda-beda. Inilah kemudian menyebabkan fikih antar 1 madzhab dengan
madzhab yang lain berbeda-beda pula. Bahkan, tidak saja berlainan madzhab, ulama
dalam satu madzhab pun bisa berbeda kesimpulan hukumnya.
Keperbedaan tersebut merupakan rahmat. Berbeda-bedanya para
ulama fikih (faqīh jamaknya fuqahā’) tentu merupakan anugerah bagi kita semua. Hasil-hasil
ijtihad para ulama tersebut memberikan alternatif jawaban bagi problem-problem
yang beraneka ragam. Bisa jadi pendapat satu madzhab cocok diterapkan untuk
satu daerah, namun tidak untuk daerah lain. Maka untuk daerah lain bisa
digunakan pendapat dari madzhab yang lainnya.
Meskipun derajat kebenaran fikih tidak 100%, tidak pasti, tidak qaṭ’ī, namun kemungkinan salahnya pun tidak lebih dari 1%. Artinya, produk ijtihad tersebut diproses melalui serangkaian metode, sehingga tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang keliru. Meskipun kemungkinan salahnya hanya sedikit, para faqīh tetap membuka diri untuk menerima kebenaran. Ini merupakan sikap rendah hati (tawadu’) yang perlu kita tiru.
wallahu a'lam
0 Comments
Posting Komentar